PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Budaya memiliki ukuran yang tegas mengenai apa artinya sebagai seseorang
dan individu menggolongkan dirinya sebagai seseorang sesuai dengan teori-teori
diri yang dibentuk secara sosial. Realitas suatu budaya dicerminkan dalam
bentuk ujaran yang dihasilkan oleh para anggotan budaya tersebut. Penjelasan
yang diberikan oleh para anggota budaya atas perilaku mereka menjadi sangat
penting dalam mengekspresikan dan menghasilkan kembali realitas kelompok.
Realitas sosial dibentuk melalui proses komunikasi. Realitas sosial lebih
sebagai suatu hal yang berkaitan dengan aturan-aturan. Aturan merupakan pemandu
untuk memahami peristiwa dan menanggapinya. Orang berbicara dan bertindak untuk
mencapai tujuan dan pencapaian ini dipandu oleh aturan-aturan yang ada dalam
masyarakat. Meskipun demikian, situasi sosial acapkali bersifat kompleks dan
mungkin terdapat banyak makna dan tindakan yang dapat diasosiasikan dengan
suatu peristiwa. Sedangkan orang berkomunikasi untuk mengartikan
kejadian-kejadian yang ditangkap oleh inderanya dan membagikan pengertian
tersebut kepada orang lain malalui gaya dan bahasanya sendiri. Oleh karenanya,
salah satu persoalan penting komunikasi adalah untuk menjalin atau mengkoordinasikan
aturan-aturan dengan individu-individu lainnya dalam berbagai situasi.
PEMBAHASAN
I.
Realitas Sosial, Budaya, Dan Komunikasi
Budaya memiliki ukuran
yang tegas mengenai apa artinya sebagai seseorang dan individu menggolongkan
dirinya sebagai seseorang sesuai dengan teori-teori diri yang dibentuk secara
sosial. Realitas suatu budaya dicerminkan dalam bentuk ujaran yang dihasilkan
oleh para anggotan budaya tersebut. Penjelasan yang diberikan oleh para anggota
budaya atas perilaku mereka menjadi sangat penting dalam mengekspresikan dan
menghasilkan kembali realitas kelompok. Realitas sosial dibentuk melalui proses
komunikasi. Realitas sosial lebih sebagai suatu hal yang berkaitan dengan
aturan-aturan. Aturan merupakan pemandu untuk memahami peristiwa dan
menanggapinya. Orang berbicara dan bertindak untuk mencapai tujuan dan
pencapaian ini dipandu oleh aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. Meskipun
demikian, situasi sosial acapkali bersifat kompleks dan mungkin terdapat banyak
makna dan tindakan yang dapat diasosiasikan dengan suatu peristiwa. Sedangkan
orang berkomunikasi untuk mengartikan kejadian-kejadian yang ditangkap oleh
inderanya dan membagikan pengertian tersebut kepada orang lain malalui gaya dan
bahasanya sendiri. Oleh karenanya, salah satu persoalan penting komunikasi
adalah untuk menjalin atau mengkoordinasikan aturan-aturan dengan
individu-individu lainnya dalam berbagai situasi.
A. Komunikasi Dan
Konstruksi Sosial Realita
Pengertian dan
pemahaman kita, pada dasarnya, timbul dari komunikasi kita dengan orang lain.
konsep tentang realitas semacam ini tertanam kuat dalam pemikiran-pemikiran
sosiologi. Beberapa tokoh utamanya adalah Peter Berger dan Thomas Luckmann yang
menulis buku “The Social Construction of
Reality”. Dengan dukungan dari aliran interaksi simbolis dan landasan yang
dibuat oleh Schutz, Berger, dan Luckmann, pendekatan konstruksi sosial realitas
telah menjadi gagasan penting dan populer dalam ilmu sosial. Menurut Kenneth
Gergen, gerakan ini memusatkan perhatiannya pada proses dimana para individu
menanggapi kejadian di sekitarnya berdasarkan pengalaman mereka. Ada empat
asumsi yang mendasari pemikiran tersebut, antara lain:
1. Suatu kejadian
(realitas) tidak hadir dengan sendirinya secara objektif, tetapi diketahui atau
dipahami melalui pengalaman yang dipengaruhi oleh bahasa
2. Realitas
dipahami melalui kategori-kategori bahasa secara situasional yang tumbuh dari
interaksi sosial di dalam suatu kelompok pada saat dan tempat tertentu
3. Bagaimana
suatu realitas dapat dipahami, ditentukan oleh konvensi-konvensi komunikasi
yang dilakukan pada saat itu. Oleh karenanya, stabil tidaknya pengetahuan lebih
tergantung pada variasi kehidupan sosial daripada realitas objektif di luar
pengalaman
4. Pemahaman-pemahaman
terhadap realitas yang tersusun secara sosial membentuk banyak aspek-aspek
penting lain dari kehidupan. Bagaimana kita berpikir dan berperilaku dalam
kehidupan sehari-hari pada dasarnya merupakan persoalan bagaimana kita memahami
realitas kita
Diantara
berbagai aspek terpenting dari kehidupan sosial adalah definisi mengenai diri
(self) yang terkait dengan orang lain. Ada dua teori yang menekankan pada
peranan komunikasi dalam “self-definition”
1.
Eksistensi Sosial Dan Personal
Rom Harre mengembangkan teori mengenai diri (self). Dia dan Paul Secord
memperkenalkan “ethogeny”, yaitu
studi tentang bagaimana seseorang memahami tindakan mereka di suatu peristiwa
(episode) tertentu. Sebuah episode adalah suatu rangkaian tindakan yang dapat
diperkirakan dan semua pihak yang terlibat mengartikannya sebagai suatu
peristiwa yang ada permulaan dan ada akhirnya. Jamuan makan malam, argumentasi,
upacara wisuda, negosiasi merupakan contoh dari episode. Fokus dari ethogeny adalah bagaimana arti episode
bagi para partisipannya dan bagaimana mereka memahami berbagai tindakan yang
membentuk episode. Kemudian bahasa yang dipergunakan orang untuk menggambarkan
dan menjelaskan episode mencerminkan pemahaman orang-orang tersebut terhadap
episode tadi.
Kelompok sosial atau komunitas, melalui
interaksi membentuk teori-teori untuk menjelaskan pengalaman tentang realitas.
Suatu teori kelompok memberikan penjelasan tentang pengalaman yang mencakup
suatu skenario mengenai apa konsekuensi logis dari tindakan tertentu dalam
sebuah episode. Harre menyebutnya sebagai “structured
template” yaitu proses tindakan yang diantisipasi dalam episode. Sebagai
contoh, sepasang remaja yang sedang jatuh cinta. Mereka akan memiliki teori
mengenai definisi cinta itu dan bagaimana seharusnya tindakan yang dilakukan
oleh mereka yang saling mencintai. Teori tersebut akan menjadi eksplisit jika
mereka diminta untuk menggambarkan, menjelaskan, atau mengartikan
tindakan-tindakan mereka.
Makna yang melekat pada berbagai peristiwa
dalam satu episode akan memunculkan aturan-aturan yang mengarahkan
tindakan-tindakan partisipan dalam episode tersebut. partisipan menjadi tahu
bagaimana harus bertindak karena adanya peraturan-peraturan yang berlaku pada
suatu saat tertentu. Contoh pasangan remaja yang sedang berkencan, maka
peraturan pertama yang dilakukan oleh sang kekasih adalah menjemput sang gadis
di rumahnya, kemudian membeli tiket bioskop dan menontonnya, hingga
mengantarkan kembali sang gadis pulang ke rumahnya. Episode kencan tersebut
tentunya akan berbeda bagi pasangan lainnya, yang memiliki batasan tersendiri
mengenai kencan dan rangkaian tindakannya.
Sebagaimana halnya dengan pengalaman, diri
(self) juga disusun oleh suatu teori personal, yaitu bahwa individu belajar
untuk memahami dirinya sendiri melalui satu atau sekelompok teori yang
mengkonsepsikan siapakah’diri’ individu tersebut. Dengan demikian, pemahaman
seseorang mengenai ‘self’ merupakan suatu konsep teoritis yang berasal dari
pengertian tentang kepribadian yang terdapat dalam budaya dan diekspresikan
melalui komunikasi. Harre membedakan orang dari ‘self’. Orang adalah makhluk
kasat mata dengan semua atribut dan sifat-sifat seperti yang terdapat dalam
suatu budaya atau kelompok sosial tertentu. Sedangkan ‘self’ adalah pemahaman
pribadi seseorang mengenai keberadaannya sebagai seseorang. Karakteristik
seseorang dijelaskan oleh teori kelompok mengenai kepribadian, sedangkan diri
dijelaskan oleh teori individu mengenai keberadaan dirinya sebagai anggota
suatu budaya. Sebagai contoh, banyak budaya tradisional mengkonsepsikan
seseorang berdasarkan perannya, seperti ayah, ibu, dll. Sementara itu, individu
memiliki sifat, perasaan, dan karakter tersendiri sebagai individu di dalam
konteks budaya tertentu.
Teori tentang ‘diri’ dipelajari melalui
interaksi dengan orang lain. sepanjang hidupnya orang yang mempelajari bahwa
tiap individu memiliki pandangan yang berbeda dan diri adalah pelaku otonom
dengan kekuatan untuk melakukan sesuatu. Harre menunjukkan bagaimana dimensi-dimensi
pribadi dan personal sesungguhnya berangkat dari proses sosial. Pemikiran,
keinginan, dan emosi kita pada dasarnya dipelajari melalui interaksi sosial.
Tepatnya, pandangan yang dimiliki seseorang, sifat dari pandangan tersebut,
serta tingkat dan ciri-ciri pribadi bergantung pada teori diri orang tersebut
dan sangat berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya.
Konsep diri terdiri dari seperangkat elemen
yang dapat dipandang dalam dimensi. Dimensi pertama ‘display’, yaitu bagaimana suatu aspek dapat dilihat oleh orang
lain atau tetap tersimpan secara pribadi. Misalnya, emosi relatif lebih
bersifat pribadi, sementara kepribadian dapat diketahui oleh orang lain.
Dimensi kedua adalah realisasi atau sumber. Dimensi ini mencakup tingkatan dimana
beberapa bentuk diri dianggap muncul dari dalam individu, disamping tumbuh dari
suatu kelompok. Elemen-elemen yang dianggap muncul dari dalam diri seseorang
adalah kenyataan individual (individually
realized), sementara elemen yang tumbuh dari hubungan seseorang dengan
suatu kelompok adalah kenyataan kolektif. Contoh, tujuan (purpose) dapat digolongkan sebagai kenyataan individual karena
tujuan merupakan sesuatu yang dimiliki dan diketahui oleh seseorang. Sebaliknya
kerja sama merupakan kenyataan kolektif karena hanya dapat dilakukan oleh
seseorang sebagai anggota kelompok. Dimensi ketiga adalah ‘agency’ yaitu tingkat kekuatan aktif yang terdapat pada diri.
Elemen-elemen aktif, seperti berbicara atau mengemudikan mobil berlawanan
dengan elemen-elemen pasif seperti mendengarkan atau menumpang mobil.
Semua teori mengenai diri mempunyai tiga
elemen yang sama. Pertama, semuanya mengandung suatu kesadaran diri (self-consciousness). Kedua, ‘agency’ yaitu kekuatan yang menggerakkan
seseorang untuk melakukan sesuatu. Ketiga, ‘autobiography’
atau identitas seseorang yang memiliki sejarah dan masa depan.
2.
Pertanggungjawaban Sosial (Social Accountability)
John Shotter menyajikan suatu teori dengan memperluas pemikiran dengan bahasan
baru, yaitu tanggung jawab dan moralitas. Shotter yakin bahwa pengalaman
manusia tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Komunikasi yang kita lakukan
sekaligus merelfeksikan dan membentuk pengalaman kita mengenai realitas.
Singkatnya pengertian dan pengalaman kita tentang realitas terbentuk
berdasarkan cara-cara kita berbicara dalam usaha untuk menjelaskannya.
Hubungan antara komunikasi (berbicara dan memberi penjelasan) dan pengalaman
membentuk suatu putaran (loop). Komunikasi menentukan bagaimana realitas
dipahami (dialami) dan pengalaman (pemahaman terhadap realitas) mempengaruhi
komunikasi. Oleh karenanya, pemahaman yang menyangkut orang tidak dapat lepas
dari pemahaman terhadap hubungan antarmanusia. Lingkungan yang ada merupakan
suatu ‘umwelt’ yang pada dasarnya
adalah suatu domain moral dari hak, tuas, wewenang, dan kewajiban. Kerangka
moral pengalaman manusia diekspresikan dalam dan melalui komunkasi. Untuk
melindungi otonominya, orang harus dapat menjelaskan bukan hanya atas
tindakan-tindakannya, tetapi juga mengenai dirinya sendiri, misalnya siapa dan
apa orang tersebut.
B. Pendekatan ‘Rules’ Dalam Studi Komunikasi
Agar komunikasi dapat
berlangsung, individu-individu yang berinteraksi harus menggunakan aturan dalam
menggunakan lambang-lambang. Bukan hanya aturan mengenai lambang itu sendiri,
tetapi mereka juga harus sepakat dalam hal giliran berbicara, bagaimana
bersikap sopan, bagaimana harus menyapa, dsb. jika setiap individu menggunakan
lambang secara acak, maka yang terjadi adalah suasana kacau dan bukan
komunikasi.
Rules merupakan suatu
mekanisme dimana perilaku sosial disorganisasi. Struktur dari interaksi hanya
dapat dipahami melalui aturan-aturan (rules) yang mengaturnya. Rules
mempengaruhi pilihan yang ada pada situasi tertentu dan karena sifatnya yang
kontekstual, rules menjelaskan mengapa orang berperilaku sama dalam situasi
serupa dan berperilaku lain pada situasi berbeda.
Beberapa pendekatan
‘rules’ dikemukakan oleh Barnett Pearce sebagai berikut: pendekatan ‘rule-following’; pendekatan ‘rule-governed’; dan pendekatan ‘rule-using’. pendekatan ‘rule-following’, disini rule dipandang
sebagai pengatur perilaku dimana pola-pola pengulangan terjadi sebagai suatu
aturan. Perace menyebutnya sebagai hukum-hukum yang lunak karena diterapkan
dalam bentuk pernyataan mengenai apa yang diharapkan terjadi dalam suatu
situasi tertentu. Pendekatan ini hanya bertujuan untuk menyusun berbagai
perkiraan perilaku.
Pendekatan ‘rule-governed’, disini rule dipandang
sebagai apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan untuk mencapai suatu
tujuan dalam suatu situasi tertentu. Pendekatan ini berusaha mengungkapkan
tujuan seseorang dan merumuskan cara-cara mencapai tujuan yang dapat diterima
oleh masyarakat. Contoh: ketika A sedang ingin berbicara dengan B, namun B
sedang berbicara dengan C. Maka, A akan menghampiri keduanya dan tidak menyela
pembicaraan mereka hingga mereka menyadari kehadirannya. Jika menyela, maka itu
akan menyalahi aturan atau dianggap tidak sopan dan mengganggu tujuan A untuk
berbicara dengan B. Pendekatan ini menganggap bahwa orang memahami aturan
tersebut dan memiliki kekuatan untuk menaati atau melanggarnya. ‘Rule-governed’ juga berasumsi bahwa
seorang bertindak secara sadar, memiliki tujuan, dan rasional.
Pendekatan ‘rule-following’, disini rule dianggap
seperti pada ‘rule-governed’ hanya
saja situasi sosial yang dihadapi lebih kompleks. Seseorang biasanya dihadapkan
pada berbagai aturan untuk mencapai berbagai tujuan. Orang tersebut akan
memilih aturan yang mana yang akan ia pakai untuk mencapai tujuannya, yaitu
dengan memakai sejumlah aturan yang sesuai dan mengesampingkan sejumlah aturan
lainnya. Jadi aturan ini memberikan suatu dasar untuk mengevaluasi pilihan yang
diambil oleh seseorang dalam suatu situasi sosial atau memungkinkannya untuk
membuat pilihan baru. Rule-using’
juga memberi kita peluang untuk mengkaji kompetensi komunikai dengan mengamati
sejauh mana seseorang dapat dengan baik memilih tujuan dan aturan yang sesuai
untuk mempersiapkan suatu interaksi (komunikasi). Pendekatan ini bersifat lebih
luas dan sesuai untuk mengkaji persiapan pidato, pengorganisasian suatu
pertemuan, penulisan surat, dsb.
Beberapa kajian
spesifik tentang ‘rules’ adalah sebagai berikut. Filsafat bahasa sehari-hari (Ordinary language philosophy) dicetuskan
oleh filsuf Jerman, Ludwig Wittgenstein. Teorinya bahwa makna dari bahasa
tergantung dari konteks penggunaannya dan satu kata yang berdiri sendiri jarang
memiliki makna. Bahasa sehari-hari menunjukkan suatu permainan bahasa (language game). Dengan kata lain, orang
mengikuti aturan tertentu untuk bertindak verbal (bercaka-cakap). Menetapkan
dan menaati aturan, bertanya dan menjawab pertanyaan, menceritakan suatu
peristiwa adalah contoh-contoh dari penggunaan bahasa yang mengikuti aturan
sehingga dikatakan sebagai permainan bahasa.
Selanjutnya adalah
Teori Tindak Ujaran (Speech Act).
Berawal dari karya Wittgenstein dan Austin, John Searle mengembangkan teori
ini. Tindak ujaran merupakan satuan terkecil dari bahasa untuk mengekspresikan
makna, suatu perkataan yang mengekspresikan suatu tujuan. Teori ini dapat
berupa kalimat, kata, atau anak kalimat, sejauh mengikuti aturan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan. Karakteristik tindak ujaran adalah komunikan
memahami apa yang menjadi tujuan komunikator. Teori ini mementingkan tujuan
dari suatu tindakan.
Searle membagi tindak
ujaran kedalam empat bentuk. Pertama, pengucapan yang merupakan pengucapan
kata-kata termasuk intonasinya. Tujuannya tidak lebih dari sekedar mengucapkan.
Kedua, proposisi yang mengacu pada gaya bicara, yaitu pengucapan suatu kalimat
dengan tujuan untuk mengekspresikan suatu maksud. Ketiga, yaitu ‘illocutionary act’ yang ditujukan untuk
memenuhi tujuan dengan menggunakan tindakan ujaran untuk menarik atau
menciptakan respon. Keempat, ‘perlocutionary
act’ yang ditujukan untuk menghasilkan efek atau konsekuensi pada perilaku
orang lain.
‘Illocution’ (ilokusi) adalah suatu tindakan dimana maksud utama
komunikator adalah supaya komunikan memahami tujuan komunikator tersebut. ‘Perlocution’ adalah suatu tindakan
dimana komunikator menginginkan komunikan bertindak sesuai dengan tujuan yang
telah dipahami tersebut. Proposisi dapat diartikan sebagai suatu aspek dari isi
illocution. Proposisi menunjukkan kualitas dari suatu objek, situasi, atau peristiwa.
Proposisi yang diucapkan oleh komunikator adalah tindak ujaran dan bagaimana
proposisi tersebut dapat diterima oleh komunikan adalah kekuatan illocution.
Sebagai contoh, kita mengungkapkan proposisi “Roti ini enak rasanya” dengan
nada sinis, sehingga makna yang terkandung adalah sebaliknya: roti ini tidak
enak rasanya.
Searle menekankan
bahwa “Berbahasa adalah terlibat dalam suatu bentuk perilaku yang diarahkan
oleh aturan-aturan (rule-governed).” Terdapat dua bentuk aturan penting.
Pertama adalah ‘Constitutive Rules’. Dalam tindak ujaran, tujuan seseorang
dapat dipahami oleh orang lain dengan aturan-aturan yang sudah dinyatakan
secara jelas (constitutive rules) karena aturan-aturan ini menyatakan pada yang
lain apa arti suatu tindakan tertentu. Kedua, ‘Regulative Rules’. Memberikan
petunjuk untuk bertindak sesuai dengan perilaku umum. Perilaku ini sudah
dikenal dan sudah ada sebelum digunakan dalam tindakan. Aturan regulative
menunjukkan bagaimana menggunakan perilaku tersebut untuk mecapai tujuan tertentu.
Misalnya, tuan tumah yang membukakan pintu bagi tamunya ketika akan pulang.
Meskipun ada
banyak tindakan ujaran yang bersifat langsung, namun ada juga tindak ujaran
yang bersifat tidak langsung. Sebagai contoh, ayah mengajak anak-anaknya untuk
datang ke meja makan dengan berkata: “Apakah kalian tidak lapar?”. Secara
eksplisit pernyataan tersebut berupa pertanyaan, namun sebenarnya adalah sebuah
permintaan.
Searle juga
mengemukakan lima jenis tindakan illocutionary. Pertama, ‘assertives’, yaitu pernyataan mengenai suatu proposisi yang
mengikat komunikator untuk mengemukakan kebenaran dari proposisinya dalam
bentuk tindak ujaran yang bersifat langsung, seperti menyimpulkan, meyakini,
dsb. Kedua, ‘directives’, yaitu
berusaha membuat komunikan melakukan sesuatu. Ini dapat berarti permintaan,
perintah, himbauan, dsb. Ketiga, ‘commissives’,
yaitu mengikat komunikator pada tindakan di kemudian hari, meliputi janji,
sumpah, jaminan, dsb. Keempat, ‘expressives’,
yaitu tindakan yang mengkomunikasikan beberapa aspek dari keadaan psikologi
komunikator, seperti ucapan selamat, terima kasih, bersimpati, dsb. Kelima, ‘declaration’, yaitu penegasan yang
diikuti oleh tindakan, seperti menugasi, menikahi, mengundurkan diri, dsb.
C. Beberapa Teori Rules Dalam Studi Komunikasi
Setelah kita membahas
mengenai pendekatan ‘rules’ secara sekilas sebelumnya, sekarang kita akan
membahas teori-teori ‘rules’. Ada 3 teori penting yang akan dibahas, yakni
teori rule-governing dari Schimanoff, teori contingency rules,
dan coordinated management of meaning.
1. Teori rule-governing
Teori ini dicetuskan
oleh Susan Schimanoff setelah ia meneliti berbagai literatur mengenai
aturan-aturan (rules). Dialah yang pertama kali mengembangkan ‘rules theory’
di bidang komunikasi. Schimanoff mendefinisikan suatu aturan atau rules
sebagai “ketentuan yang dapat diikuti yang memberikan indikasi mengenai
perilaku mana yang di wajibkan, lebih disukai, atau dilarang dalam konteks
tertentu”. Dari definisi ini terdapat 4 elemen cakupan meliputi:
a. Rules harus dapat ditaati, kriteria ini menyatakan bahwa suatu aturan dapat
ditaati atau dilanggar, namun hanya jika tidak punya opsi untuk bertindak.
b. Rules bersifat menentukan, aturan memiliki batas-batas terhadap hal-hal yang
seharusnya dilakukan, lebih disukai, atau dilarang. Dan kegagalan dalam
pelaksanaannya dapat menimbulkan efek negatif seperti celaan atau kritikan.
c. Rules bersifat kontekstual, Schimanoff menyatakan bahwa setiap aturan memiliki
kontekstualitas yang berbeda, beberapa menyatakan bahwa aturan bersifat idiosyncratic
(tiap situasi memiliki seperangkat aturan sendiri). Sementara yang lainnya
lebih melihat aturan secara universal dan hampir berlaku disetiap situasi.
Namun Schimanoff menengahi keduanya, karena aturan adalah sarana untuk memahami
perilaku yang terorganisasidan terjadi berulangkali, maka minimal harus dapat
diterapkan pada 2 kejadian yang berbeda sebagai bukti potensi yang cukup luas
untuk bisa diterapkan di berbagai kondisi.
d. Rules merinci perilaku yang sesuai, yakni dengan mencantumkan apa yang wajib dan
haram dilakukan, namun tidak membatasi bagaimana kita harus berfikir, merasa,
atau mengartikan sesuatu.
Untuk mengetahui
suatu aturan dengan tepat, kita harus mengetahui konteks dan konten-kontennya,
Schimanoff menyatakan bahwa format “jika-maka” akan membantu kita
mengidentifikasi elemen suatu aturan/rules.namun hal ini tidak bertujuan
untuk menunjukkan hubungan sebab-akibat. Selain itu, Schimanoff juga
mengemukakan model mengenai aturan perilaku yang menjelaskan delapan hubungan
bentuk hubungan antara perilaku dan aturan, dan terbagi atas 2 bagian sama rata
dan saling berhubungan dimana satu bagian perilaku menyimpang dan satu lainnya
adalah perilaku yang sesuai aturan, Untuk memudahkan, kita bisa
menggambarkannya kedalam tabel berikut:
No.
|
Perilaku yang sesuai
|
Perilaku Menyimpang
|
1
|
Perilaku menaati peraturan (rule-following)
|
Perilaku melanggar peraturan (rule-violation)
|
2
|
Perilaku yang sesuai peraturan (conforming)
|
Perilaku yang menyalahi peraturan (error)
|
3
|
Perilaku yang memenuhi aturan (rule-fulfilling)
|
Tidak menghiraukan aturan (rule-ignorant),
termasuk bila tidak mengetahui adanya aturan yang berlaku.
|
4
|
Perilaku reflek positif (positive reflection)
|
Perilaku reflek negatif (negative reflection)
|
2. Teori Contingency
Rules (Aturan Kontingensi)
Teori aturan
kontingensi dikemukakan oleh Mary John Smith dengan penerapan pendekatan
penggunaan aturan terhadap situasi-situasi persuasif. Dalam teori ini ada 3
asumsi: (1) Orang bertindak karena memiliki tujuan tertentu dan tindakannya
dipengaruhi perkiraan akan hasil yang didapat. (2) Persuasi dikendalikan lebih
pada pilihan-pilihan pribadi seseorang daripada pengaruh orang lain. (3)
Ganjaran dari orang lain hanya berarti dalam konteks tujuan-tujuan dan ukuran
pribadi seseorang.
Aturan yang memandu
tindakan seseorang terdiri atas 2 jenis, yakni self-evaluative dan adaptive.
Adapun aturan self-evaluative berhubungan erat dengan konsep diri dan
mencakup identitas diri (self identity) dan memelihara citra (image
maintaining). Sedangkan aturan adaptive menunjukkan apakah sesuatu
tindakan akan bernilai efektif dan menguntungkan dalam suatu situasi tertentu.
Aturan adaptive meliputi environmental contingency rules yang membantu
kita untuk memilih tindakan yang bernilai positif bagi kita maupun orang lain
yang bersangkutan. Dan interpersonal relationship rules (aturan
hubungan antar pribadi) yang diciptakan untuk membantu seseorang untuk mengnai
cara-cara memlihara hubungan antar pribadi, namun dapat juga berbentuk norma
sosial (social normative) yang mengajarkan kita apa yang dianggap sesuai
oleh norma sosial yang berlaku.
Aturan bersifat
kontingensi, yaitu aturan yang tergantung pada situasi dimana persuasi akan
berlangsung. Banyak aspek dari konteks yang berada diluar kontrol partisipan
komunikasi, namun banyak juga aspek yang tercipta karena tindakan para
partisipan itu sendiri, tergantung pada sifat hubungan antarpartisipannya,
tujuan mereka, tingkat kesepakatan atau ketidaksepakatn terhadap subyek yang
sedang dibahas. Karena hubungan yang berbeda akan memilik aturan yang berbeda
pula, jika tujuan partisipan berubah maka aturannya juga berubah.
3. Teori Coordinated
Management Of Meaning (Koordinasi Pengelolaan Makna)
Teori
yang dikembangkan W. Barnett Pearce dan Vernon Cronen ini mengintegrasikan atau menghubungkan beberapa teori komunikasi terdahulu,
yakni teori simbolic interactionism, ethogeny, system theory, speech act, dan
relational communication sebagai suatu teori komunikasi yang
komperhensif. Teori ini memiliki penerapan yang luas pada berbagai situasi
komunikasi.
Pearce dan Cronen
meminjam konsep aturan constitutuve dan regulative serta teori tindak
ujaran, dan menempatkannya sebagai pusat kajian mereka. Pada dasarnya aturan constitutive
ini adalah aturan-aturan makna (rules of meaning) yang digunakan
partisipan untuk mengartikan atau memahami suatu peristwa. Sedangkan aturan regulative
pada dasarnya adalah aturan tindakan (rules of action) yang
digunakan untuk menentukan bagaimana memberi respon atau perilaku.
Pearce dan Cronen
memandang konteks sebagai sebuah hierarki yang terdiri atas 4 jenis dimana tiap
jenis adalah bagian dari konteks selanjutnya. 4 konteks tersebut adalah konteks
relationship meliputi harapan dari anggota yang berinteraksi. Konteks
episode (didasarkan pada analisis episode mili Harre dan Secord) menjelaskan
suatu kejadian. Konteks Self-Concept, yang merupakan pemahaman seseorang
tentang dirinya sendiri. Dan konteks archetype adalah suatu citra
mengenai kebenaran umum.
Namun perlu diketahui,
susunan konteks diatas tidak berlaku secara universal, alias akan berubah
terus-menerus susunannya, dan ada kemungkinan akan hadirnya konteks lain yang
menentukan interpretasi dan tindakan-tindakan. Karena orang memiliki
kecenderungan untuk menciptakan konteks baru dalam rangka mencapai perubahan
dalam pemahaman dan tindakan mereka.
Sistem aturan
menunjukkan adanya suatu kekuatan logika untuk melakukan tindakan, dan
orang akan bertindak sesuai dengan aturan tersebut. Ada 2 logical force yang
terjadi dalam komunikasi. Yaitu kekuatan logika Prefiguration, yang
merupakan pertalian antara anteseden dan tindakan dimana seseorang dipaksa
untuk berperilaku tertentu karena kondisi-kondisi sebelumnya. Dan kekuatan
logika Practical, adalah pertalian antara tindakan dan konsekuensi
dimana orang berperilaku tertentu dalam rangka mencapai kondisi
berikutnya/mendatang.
Persoalan mendasar
dalam komunikasi adalah ketika seseorang hendak berinteraksi, dia tidak
mengetahui secara persis model aturan yang akan dipakai lawannya. Oleh karena
itu, tugas utama dalam setiap komunikasi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan beberapa bentuk koordinasi. Koordinasi adalah menjalin tindakan
seseorang dengan orang lainnya sampai pada suatu titik perasaan dimana suatu
rangkaian tindakan dianggap logis. Pokok persoalan bagi koordinasi adalah tiap
individu harus menggunakan aturan-aturan untuk menginterpretasikan dan
menanggapi tindakan orang lainnya.
D. Teori-Teori
Komunikasi Tentang Bahasa Dan Budaya
Secara umum studi
mengenai bahasa dan budaya dikenal dengan sebutan Sociolinguistics. Yang
merupakan suatu pengertian yang sangat luas yang mencakup studi tentang bahasa
yang menggunakan data sosial ataupun sebaliknya yaitu studi tentang kehidupan
sosial yang menggunakan bahasa sebagai salah satu data.
Ada dua konstribusi teoretis dalam pembahasan bahasa dan budaya yaitu :
1. Relativitas Linguistik (Relativitas Bahasa)
Edward Sapir dan
Benjamin Lee Whorf membuat hipotesis mengenai teori Relativitas Bahasa. Sapir
mengungkapkan bahwa “struktur bahasa suatu budaya menentukan perilaku dan pola
pikir dalam budaya tersebut“ artinya bahwa suatu kebudayaan yang berkembang di
masyarakat tidak mungkin bisa terlepas dari bahasa yang digunakan dalam
masyarakat yang berada di lingkungan tersebut karena bahasa digunakan sebagai
sarana dalam berlangsunya interaksi budaya.
Menurut hipotesis
Sapir-Whorf hubungan antara bahasa dan budaya yang pertama mengenai struktur
bahasa yang menentukan cara-cara penutur bahasa tersebut memandang dunianya dan
yang kedua mengenai budaya masyarakat tercermin dalam bahasa yang mereka pakai,
karena mereka memiliki segala sesuatu dan melakukannya dengan cara tertentu
yang mencerminkan apa yang mereka nilai dan apa yang mereka lakukan.
Pernagkat-perangkat
budaya tidak menentukan struktur bahasa, tetapi perangkat-perangkat budaya
tersebut jelas mempengaruhi bagaimana bahasa digunakan dan mungkin menentukan
mengapa butiran-butiran budaya tersebut merupakan cara berbahasa.
2. Etnografi Komunikasi
Etnografi adalah studi
budaya dimana pengamat (etnografer) dari luar budaya tersebut berusaha untuk
mengartikan perilaku kelompok yang dipelajari. Hal ini dilakukan agar orang
dari berbagai budaya saling memahami satu dengan lainnya.
Dalam hal ini yang
dijelaskan oleh etnografer tidak hanya penjabaran tentang perilaku dari suatu
kelompok melainkan penyusunan suatu model interpretasi yang memungkinkan
seseorang dapat memahami perilaku tersebut. Etnografi berusaha mencapai
kejelasan dengan memahami praktik-praktik yang masih dianggapnya asing dengan
melakukan pengamatan, pengkajian dan pengalaman yang cermat, untuk menciptakan
penjelasan yang dapat membuat tindakan tersebut dipahami.
Proses etnografis
adalah suatu tahapan bolak-balik antara konsep-konsep orang yang berada dalam
budaya (experience-near) dan konsep-konsep pengamat yang disebut
(experience-distant) dan akhirnya terbentuk konseptualisasi yang memungkinkan
pengamat untuk mengartikan suatu fenomena yang mendekati konsep dari budaya
tersebut sehingga konseptualisasi dari etnografer dapat dipahami pula oleh
orang-orang luar lainnya.
Jadi etnografi adalah
suatu proses dimana pemahaman seseorang menjadi lebih meningkat dan akurat.
Sedangkan etnografi komunikasi adalah penerapan metode-metode etnografi pada
pola komunikasi suatu kelompok. Tujuannya adalah pengamat berusaha untuk
menginterpretasikan bentuk komunikasi yang digunakan oleh para anggota kelompok
atau budaya.
Etnografi dicetuskan
oleh seorang antropolog yaitu Dell Hymes, yang mengungkapkan bahwa peristiwa
komunikasi adalah metafora atau prespektif sebagai dasar untuk menerjemahkan
pengalaman agar dapat dipahami merupakan kenyataan yang mendasari peran penting
bahasa dalam kehidupan budaya. Tiap budaya memiliki praktik komunikasi yang
berbeda akan tetapi pasti ada “pesan” yang mensyaratkan kesamaan lambang,
partisipan yang menggunakannya, saluran, setting, bentuk pesan, topik serta
peristiwa yang diciptakan oleh penyampaian pesan. Jadi skema pertama yang
dilakukan oleh etnografer adalah dengan model “pesan” ini, namun hal ini masih
belum cukup. Oleh karena itu Hymes mengusulkan sembilan konsepsi dasar yang
dapat dimasukkan dalam suatu teori.Yakni cara-cara berbicara, gambaran ideal
tentang pembicara yang cakap, komunitas ujaran, situasi ujaran, peristiwa
ujaran, tindak ujaran, komponen tindak ujaran, aturan-aturan berbiacara di
dalam komunitas, fungsi-fungsi ujaran dalam komunitas.
No comments:
Post a Comment